Senin, 21 Januari 2013

Analisis Pidato Nawaksara


Analisis Pro – Kontra Pidato Nawaksara

Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu dan tidak terkendali setelah para enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G 30 S pada tahun 1965. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).[1]

Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Berselang lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.[2]

Soekarno kemudian membacakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S dan pembelaanya mengenai NASAKOM. Menurut Presiden Soekarno dengan Nasionalisme dan Komunisme, bangsa ini akan dapat dipersatukan sehingga tidak ada yang terpecah belah. Proses pertangungjawabannya dilaksanakan pada Sidang Umum ke – IV MPRS. Pidato tersebut berjudul “Nawaksara”. Menurut Soekarno, Nawaksara berarti "sembilan perkara" – pidato itu berisi sembilan pokok bahasan yang disampaikan Soekarno di depan sidang MPRS dan dibacakan pada 22 Juni 1966.

Pidato Nawaksara merupakan dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Soekarno di depan sidang umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala Soekarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Soekarno. Era ini, mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSSI) dan Masyumi sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Dengan demikian, era Demokrasi Terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat pada tiga sumber utama: Soekarno, PKI, dan TNI-AD.

Pidato ini disampaikan Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan G-30-S yaitu sebagai berikut :

a.       Keblingeran pimpinan PKI,
b.      Subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim),
c.       Adanya oknum-oknum yang "tidak benar".

Soekarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan neolim bersatu padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September. Nawaksara ini pula mejadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pimpinan MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M.Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1966 tertanggal 5 juli 1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.[3]

Pada 22 Oktober 1966, keluarlah nota pimpinan MPRS yang mengharuskan Bung Karno melengkapi Nawaksara, khususnya bagian-bagian yang menyangkut PKI. Untuk melengkapi pidato tersebut Pidato “Pelengkap Nawaksara” pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967. Isinya antara lain:
a.       G.30.S ada suatu Complete Overcompeling bagi Soekarno.
b.      Soekarno sudah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). Yaitu ketika berpidato pada perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966. Pada tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum. Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB".
c.       Pada malam peringatan Isro dan Mi;radj di Istana Negara, Pengemban Supersemar mengatakan, "saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September / PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok" (Gerakan Satu Oktober).[4]

Namun “Pelengkap Nawaksara” kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama. Karena MPRS sendiri, didalamnya terdiri dari orang – orang yang Pro – Soeharto. Jadi penolakan tersebut bukanlah suatu ramalan, melainkan memang direncanakan untuk ditolak, apa pun pertanggungjawaban dari Presiden Ir. Soekarno itu sendiri.[5]

Pertentangan antara kubu Soekarno dan kubu MPRS yang dikomandoi AH Nasution semakin terang ketika Pimpinan MPRS, pada tanggal 16 Februari 1967, mengeluarkan Keputusan Nomor.13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA. Alasan penolakan Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara oleh MPR karena tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS dan bangsa pada umumnya.

Dalam dua pertanggungjawaban tersebut tidak dijelaskan terperinci kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak. Tanggapan dari MPRS ini benar-benar mengecewakan Soekarno. Padahal, Pemangku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata ini berpikir sudah memberikan jawaban yang jujur, memenuhi harapan dari apa yang ditanyakan, serta sesuai persyaratan yuridis.

Akhirnya "Nawaksara" dan "Pelengkap Nawaksara" dalam kualitasnya sebagai amanat Presiden kemudian ditolak oleh MPRS dan mengambil keputusan sebagai berikut :
  • Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggunganjawaban dari konstitusionalnya,
  • Presiden Soekarno dinyatakan telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS,
  • Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai Pemilihan Umum yang akan datang, serta menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintah negara yang diatur dalam UUD 1945,
  • Mengangkat pengemban TAP MPRS No.IX sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum,
  •  Pejabat Presiden tunduk dan bertanggungjawab penuh kepada MPRS.
  • Penyelesaian persoalan hukum yang menyangkut Soekarno dilakukan menurut ketentuan – ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan serta menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden.
Maka pada tanggal 20 Februari 1966, Soekarno mengajukan Surat pengunduran diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto. Surat pengunduran diri yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu kemudian diproses dalam sidang Istimewa MPRS yang berlangsung pada tanggal 7 – 12 Maret 1967.
Dalam Sidang Istimewa itu dikeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Ketetapan MPRS itu memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno, berlaku surut mulai 22 Februari 1967, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.[6]

Menurut pandangan saya, Ketetapan MPRS Nomor. XXXIII/1967 menarik untuk dipelajari karena beberapa alasan yaitu sebagai berikut :

 Alasan Pertama, kalau memang dianggap bersalah, mengapa Presiden Soekarno dirampas haknya untuk membela diri secara politis melalui sarana demokrasi yaitu Pemilihan Umum atau pembelaan secara hukum melalui pengadilan. Hal ini hanya bisa terjadi pada pemerintahan yang belum mengenal peradaban hukum modern.

Alasan Kedua, Presiden Soekarno tidak pernah diangkat oleh MPRS tapi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Aturan peralihan UUD 1945 pada Pasal III. Sehingga, hanya Presiden yang dipilih MPR dapat diberhentikan oleh MPR, apalagi oleh MPRS. Oleh karena itu menurut hukum, tindakan MPRS memberhentikan Presiden Soekarno sebagai presiden, adalah In Konstitusional.

Alasan Ketiga, pelarangan warganegara melakukan kegiatan politik tanpa melalui proses hukum, adalah tindakan In Konstitusional, kecuali pada zaman kolonial Belanda dengan adanya hak exorbitanterechten (kekuasaan hukum luar biasa) pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, oleh karena itu tindakan MPRS melarang kegiatan politik bagi Presiden Soekarno adalah In Konstitusional.

 Alasan Keempat, perlu diteliti siapa yang bertanggungjawab atas penangkapan dan penahan Presiden Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta, dengan perlakuan keji dan bengis, sampai wafat di tahanan.
Alasan Kelima, perlu diteliti juga siapa bertanggung jawab menangkap Ketua MPRS Dr. Chaerul Saleh yang ditahan hingga wafatnya misterius di RTM/Rumah Tahanan Militer.

Sebenarnya yang sangat mencurigakan justru sikap Soeharto yang tidak mau mengadili Aidit, Lukman dan Nyoto. Ketiga-tiganya adalah Tokoh I, II dan III PKI, sedangkan Peristiwa G30S sejak dari awalnya disebut sebagai G30S/PKI.  Ketiga-tiganya tertangkap hidup bahkan sempat diperiksa, tapi diperintahkan  oleh Soeharto supaya langsung ditembak mati, tidak dihadapkan ke muka pengadilan MAHMILLUB yang dibentuk oleh Presiden Soekarno untuk mengadili para pelaku G30S. Nampaknya Soeharto takut ada hal – hal yang dapat terbongkar yang akan merugikannya, jika ketiga tokoh PKI itu diadili.

Kronologi dari peristiwa ini menyebabkan tanggal 20 Februari tahun 1967 Soekarno secara yuridis menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto secara De Facto menjadi Kepala Pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Walau tergusur dari tampuk kekuasaan, pengaruh Soekarno masih terus terpelihara dalam benak orang-orang yang tersisih kaum marhaen. Kaum marhaen yang selalu diperjuangkan kemerdekaannya sebagai manusia oleh Sang Putra Fajar, Bung Karno. Sebaliknya, bagi para marhaen, Bung Karno ialah spirit atau semangat untuk terus berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.

Sumber Referensi

Syamdani, (Ed). 2001. Kontroversi Sejarah Di Indonesia. Jakarta : Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia
Luhulima, James. 2006. Menyingkap Dua Hari Tergelap Di Tahun 1965 – Melihat Peristiwa G30S Dari Perspektif Lain. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Majalah Tempo, Edisi 05/02 - 05/April/1997
http://apirevolusi.blogspot.com, dalam Pelengkapan Pidato Nawaksara Soekarno 10 Januari 1967, diunduh pada 15 Oktober 2012 Pukul 19.30 WIB





[1] James Luhulima, Hal : 182 - 183
[2] http://apirevolusi.blogspot.com, dalam Pelengkapan Pidato Nawaksara Soekarno 10 Januari 1967, diunduh pada 15 Oktober 2012 Pukul 19.30 WIB

[3] James Luhulima, Hal : 185
[4] James Luhulima Hal : 187
[5] Hasil Wawancara dengan Prof. Dr. Arief Budiman dalam Buku “Kontroversi Sejarah Di Indonesia, Hal : 194
[6] James Luhulima Hal : 189