KONSEP DASAR
ILMU SOSIAL
I.
PENGERTIAN KONSEP
Pengertian yang
tergambar dalam pikiran yang menceritakan suatu benda atau suatu gagasan baik
konkrit atau abstrak Konsep IPS: suatu pengertian yang menceritakan suatu
fenomena atau benda yang berkaitan dengan IPS- Konsep IPS disini bisa bermakna
konotatif atau pun juga denotatif.
A. KONSEP
GEOGRAFI
·
Geografi
adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan
sudut pandang lingkungan atau kewilayahan dalam kontek keruangan.
·
Obyek
studi geografi: Geosfer/ permukaan bumi terdiri dari : atmosfer (lapisan udara),
hidrosfer (lapisan air), litosfer (lapisan batuan), biosfer ( lapisan Kehidupan).
KONSEP DASAR GEOGRAFI
a) Konsep bumi sebagai Planet
b) Variasi cara hidup
c) Variasi wilayah-wilayah alami
d) Makna Wilayah bagi manusia
e) Pentingnya Lokasi dalam memahami
peristiwa dunia
B.
KONSEP SEJARAH
·
Masa
lampau (tidak dapat diulang kembali)
·
Obyek
bisa berupa benda, peristiwa, riwayat, pengalaman
·
Digambarkan/
dinarassikan sebagai fakta
· Semua
obyek dianalisis/ ditafsirkan/ diteliti dengan menggunakan metode tertentu yang
sesuai.
Dengan menggunakan metode
peristiwa masa lampau dapat direkuntruksi dan disusun kembali sehingga bisa
menjadi pelajaran dan peringatan-peringatan ada ungkapan sejarah berulang
kembali atau mengambil pelajaran dari sejarah
PENGERTIAN SEJARAH
Sejarah adalah gambaran
tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami manusia, disusun secara
alamiah meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis kritis sehingga
mudah dipahami dan dimengerti dan dipahami
HUBUNGAN SEJARAH DAN WAKTU
Dengan mempelajari
masa lampau dan dihubungkan dengan pengalaman / kejadian aktual saat ini kita dapat
mengkaji / mengetahui perkembangan sehingga kejadian-kejadian mendatang dapat
diprediksi.
Maka mempelajari
sejarah bukan merupakan suatu kegiatan yang statis malah justru merupakan telah
yang dinamis ke masa yang akan datang.
KONSEP DASAR SEJARAH
·
Waktu
·
Dokumen
·
Daur
peristiwa
·
Kronologis
·
Peta
·
Tahap-tahap
peradapan
·
Ruang
·
Evolusi
·
Revolusi
Waktu
lampau menjelaskan sifat bobot dan warna peristiwa yang bersangkutan. Peristiwa
sejarah dapat dinyatakan sejarah jika berkaitan dengan waktu. Sejarah
mengungkapkan kapan terjadinya suatu peristiwa. Dan Geografi memberi petunjuk dimana
peristiwa itu terjadi. Peta alat bantu tentang lokasi suatu peristiwa terjadi.
Alur rentetan
peristiwa berdasarkan urutan waktu terjadinya.
C. KONSEP
DASAR ANTROPOLOGI
·
Kebudayaan
·
Tradisi
·
Pengetahuan
·
Ilmu
·
Teknologi
·
Norma
·
Lembaga
·
Seni
·
Bahasa
·
Lambang
Kebudayaan
adalah hal-hal yang berhubungan dengan budi dan atau akal (Kuntjaraningrat)
Tradisi kebiasaan kebiasaan yang terpolakan
secara budaya di masyarakat. Kebiasaan lebih melekat pada perorangan sedangkaan
tradisi melekat pada kehidupan dan alam pikiran masyarakat.
Mengetuk pintu, tegur
sapa, berpakaian rapi merupakan kebiasaan , Namun pulang mudik lebaran di masyarakat
tertentu masih merupakan tradisi yang selama ini masih membudidaya di
masyarakat kita.
Pengetahuan Ilmu dan Tekonologi merupakan konsep dasar
yang terkait dengan belajar, ketiganya sangat erat maka digabungkan dengan
IPTEK.
NILAI DAN NORMA
1. Dalam kehidupan masyarakat
melekat apa yang dikatakan baik, buruk, sopan tak sopan, cocok dan tak cocok,
salah benar, hal ini merupakan nilai
2. Sedangkan norma lebih mengarah
pada ukuran dan aturan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat (tapi tak
tertulis)
Nilai mengatur, membatasi,
menjaga keserasian hidup dalam masyarakat. Orang yang tak sopan berarti orang tersebut
tak mempunyai nilai. Contoh orang yang bertanya di kelas harus mengacungkan
terlebih dahulu dan dalam bertanya harus sopan (angkat tangan itu norma dan
kesopanan itu nilai).
PRANATA
DAN LEMBAGA
Pranata
(intitution) adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu
aktivitas yang khusus. Lembaga adalah Badan yang melaksanakan aktivitas dari
panata.
KONSEP DASAR SOSIOLOGI
Sosiologi
adalah ilmu sosial yang secara khusus mempelajari interaksi sosial. Frank H.
Hankin mendefinisikan sosiologi adalah studi ilmiah tentang fenomena yang
timbul dari hubungan kelompok umat manusia.
MATERI POKOK SOSIOLOGI
·
Interaksi
sosial
·
Sosialisasi
·
Kelompok
Sosial
·
Perlapisan
Sosial
·
Proses
Sosial
·
Perubahan
sosial
·
Mobilisasi
sosial
·
Modernisasi
·
Patologi
sosial
dan konsep lain yang ada di masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mengadakan
interaksi, baik itu interaksi edukatif, interaksi ekonomi, interaksi budaya,
dan interaksi politik. Sosialisasi
adalah proses penenaman nilai dan pembelajaran norma sosial dalam rangka
pengembangan individu yang bersangkutan.
Kelompok Sosial adalah kumpulan manusia yang
terdiri dari dua orang atau lebih yang saling mengenal dalam waktu relatif
lama, ada kaitan senasib diikat oleh nilai dan norma yang sama serta memiliki
rasa persatuan. Ikatan
persamaan seperti pendidikan, ekonomi, mata pencaharian, Sehingga ada kelompok miskin,
menengah , kaya yang disebut perlapisan sosial.
Proses sosial tak pernah berhenti dalam masyarakat,
selalu beranjak dari tingkat terbelakang-berkembang modern. Sebagai akibat dari
proses sosial terjadi perubahan sosial, jika proses sosial dan perubahan ini
mengarah pada kepada kemajuan , maka masyarakat tersebut mengalamai proses
modernisasi.
Terjadinya proses sosial, perubahan sosial, dan
modernisasi (perorangan atau kelompok) akan mengakibatkan perubahan status dari
lapisan bawah, menengah, atas. Perubahan
status baik perorangan maupun kelompok disebut mobilitas sosial.
Patologi Sosial adalah segala penyakit masy. yang
menjadi masalah sosial. Seperti kejahatan, penganguran, kemiskinan,
gelandangan, tawuran remaja dll.
PSIKOLOGI SOSIAL
Psikoloogi sosial
adalah studi ilmiah tentang proses mental manusia sebagai makhluk sosial. Psikologi
sosial dapat didefinisikan juga sebagai ilmu tentang peristiwa perilaku
antarpersonal.
II.
ILMU SOSIAL SEBAGAI ILMU
Agar bisa mendapatkan status
sebagai ilmu ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah
studi. Kita tahu bahwa pengetahun dan ilmu sama-sama merupakan produk dari
proses aktifitas berpikir, tetapi ada kualitas-kualitas tertentu yang
membedakan antara berpikir dalam kerangka pengetahuan umum dan berpikir dalam
kerangka ilmiah.
Kualitas-kualitas yang membedakan
berpikir dalam kerangka ilmiah, dan berpikir dalam kerangka pengetahuan pada
umumnya, adalah jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jujun
Suriasumantri, yaitu: “Apakah yang ingin kita ketahui?”; “Bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan?”; dan “Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?”2
Tiga pertanyaan
tersebut merepresentasikan aspek ontologism, epistemologis, dan aksiologis dari
suatu pengetahuan yang mendapatkan status ilmiah. Jika suatu pengetahuan bisa
memberikan jawaban yang memuaskan, logis, rasional, dan meyakinkan bagi ketiga
pertanyaan tersebut maka relatif tidak akan ada yang keberatan untuk menyatakan
pengetahuan tersebut sebagai sebuah pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan pertama berkaitan
dengan obyek material dari suatu (calon) ilmu, yaitu “Apa obyek kajian dari
(calon) ilmu tersebut?”; “Dimanakah batas-batasnya, sehingga (calon) ilmu
tersebut jelas terbedakan dengan cabang ilmu pengetahuan yang lain?”. Ilmu
sosial, tidak terkecuali, juga harus bisa memberikan jawaban yang logis,
rasional, dan meyakinkan terhadap pertanyaan ini untuk bisa mendapatkan
statusnya sebagai ilmu.
Pertanyaan kedua dan ketiga
banyak terkait dengan obyek formal sebuah ilmu pengtahuan. Obyek formal ilmu
pengetahuan ini berbicara tentang ‘bagaimana sebuah ilmu memandang, mendekati,
dan menjelaskan obyek materialnya?”; “Bagaimana pengetahuan tentang obyek
material tersebut didapatkan?”; dan “Apa nilai guna dari pengetahuan yang
dihasilkan ilmu tersebut bagi manusia?”
Paradigma positifisme memandang
bahwa fenomena sosial terjadi dalam sebuah model kausal yang bergerak menurut
hukum alam. Hukum alam ini bersifat universal, di segala ruang dan segala
waktu. Maka tugas ilmu sosial adalah mempelajari fenomena sosial, model kausal
yang mengkerangkainya, dan hukum alam yang bekerja di belakangnya.
Dengan memahami model kausal dan
hukum alam yang bekerja dibalik berbagai fenomena sosial, maka manusia tidak hanya akan
mampu memahami fenomena sosial tetapi juga memprediksi dan, bila perlu,
merekayasa fenomena sosial.
Dalam hal ini,
paradigma positifisme menghendaki agar ilmu sosial mengadopsi metodologi
ilmu-ilmu alam untuk mempelajari dan menjelaskan fenomena sosial, karena itu
paradigma ini juga dikenal dengan dengan nama paradigma naturalisme. Satu disiplin
ilmu, satu obyek materiil, dan satu obyek formal itulah kredo utama paradigma
positifisme dalam ilmu sosial. Sebelum bisa memenuhi persyaratan itu maka
status ilmu sosial sebagai ilmu belumlah absah, karena berarti kajian dalam
ilmu sosial belum bisa sepenuhnya memiliki kapasitas prediktif yang bisa
diandalkan, sebagaimana dalam ilmu alam.
Paradigma
anti-positifis berkeyakinan sebaliknya. Bagi para pengusung paradigma ini,
realitas sosial, sebagai obyek material ilmu sosial, adalah entitas yang karakternya
berbeda dengan obyek material ilmu-ilmu alam. Realitas sosial sangat sensitif
terhadap pengaruh ruang dan waktu, dinamikanya begitu cepat. Selain itu, ilmu
sosial menjadikan realitas sosial sebagai obyek materialnya, di mana dalam
realitas itu ‘si pengamat’ juga menjadi bagian dari realitas sosial itu
sendiri. Disadari atau tidak, si pengamat juga memberikan pengaruh pada obyek
yang diamatinya, sehingga amatlah sulit bagi ilmu sosial untuk mencapai level
obyektifitas seperti dalam ilmu alam.
Dalam mendekati
fenomena sosial, paradigma anti-positifis juga menekankan pada keniscayaan
tafsir. Manusia tidak pernah lepas dari proses ini ketika berhadapan dengan
fenomena, termasuk fenomena sosial. Tafsir ini dipengaruhi oleh konteks yang
meliputi manusia sebagai subyek penafsir, sehingga multi-tafsir juga merupakan
sebuah keniscayaan. Perbedaan tidak hanya muncul karena perbedaan dimensi
ruang, tetapi juga akibat perbedaan dimensi waktu, karena itu ‘alur
kesejarahan’ menjadi salah satu komponen penting dalam paradigma
anti-positifis.
Dalam paradigma
anti-positifisme, tujuan utama dari ilmu sosial adalah mendapatkan ‘pemahaman’
(verstehen) atas fenomena sosial yang terjadi. Pemahaman ini dianggap lebih
penting daripada sekedar mengetahui hubungan antarvariabel pembentuk model
kausal dan cara kerja hukum alam yang ada di balik fenomena sosial. Karena
dalam ilmu sosial obyek materialnya adalah manusia, pemahaman mengasumsikan
adanya hubungan timbal balik antara si pengamat dan yang diamati. Pemahaman ini
mengasumsikan pertemuan dua horizon yang berbeda, horizon si pengamat dan yang
diamati, sehingga memunculkan intersubyektifitas baru yang memungkinkan
keduanya berkomunikasi dalam sebuah struktur pemaknaan yang sama.
III.
HUBUNGAN ILMU SOSIAL DENGAN ILMU-ILMU LAIN
Ilmu sosial
terdiri dari berbagai macam subyek, salah satunya adalah ilmu politik. Adalah
sangat baik bagi siapa saja yang mempelajari salah satu subyek dalam ilmu
sosial, jika juga memahami garis-garis besar subyek-subyek yang lain dalam ilmu
sosial. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang mempelajari ilmu politik. Ilmu
politik telah menjadi subyek pemikiran untuk waktu yang sangat lama. Dalam
perkembangannya ilmu politik sangat erat kaitannya dengan perkembangan subyek
ilmu sosial lain, seperti sejarah, hukum, dan filsafat moral; tentang apa baik
dan tidak-baik dalam tindakan manusia. Di bawah ini kita akan secara singkat
membahas hubungan antara ilmu politik dan tiga subyek lain dalam ilmu sosial
tersebut. Tiga subyek ini dipandang menjadi induk bagi ilmu politik.
Sejarah. “Ilmu politik seperti sebuah benang emas yang terhanyut
dalam ‘sungai sejarah’,” begitu kata Lord Acton, seorang penulis besar ketika
dia menggambarkan hubungan antara ilmu politik dan ilmu sejarah. Banyak orang
mempelajari sejarah untuk menemukan berbagai pengalaman politik berharga di
masa lalu, dengan harapan pengalaman tersebut bisa digunakan untuk memindai
masa depan dan menjadikannya lebih baik.
Walau demikian,
keduanya saat ini mengalami kecenderungan baru yang memisahkan kedua disiplin
ilmu tersebut. Ilmu politik saat ini cenderung melepaskan diri dari fenomena
politik di suatu era atau tempat tertentu, dan berusaha lebih berfokus pada
fenomena politik itu sendiri. Ilmu Sejarah saat ini juga cenderung berusaha
memberikan perhatian lebih pada cabang-cabang subyek sejarah baru, seperti
sejarah ekonomi, sejarah budaya, dan menganggap bahwa sejarah politik tidaklah
lebih penting dari yang lain. Meskipun keduanya telah menjadi dua disiplin ilmu
yang terpisah satu sama lain, tetapi sejarah tetap menjadi disiplin induk dari
disiplin ilmu politik.
Hukum. Orang yang mempelajari hukum selalu tertarik pada politik,
begitu juga sebaliknya. Berbicara tentang negara memang bisa dikatakan bahwa
kita berbicara tentang bagaimana hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan.
Tetapi ilmu politik lebih memberikan perhatian pada pertanyaan “Apa itu
hukum?”, “Dalam konteks politik seperti apa hukum itu muncul?”, “Proses dan
kekuatan politik apa yang berkepentingan dengan hukum?” dsb. Hukum, sebagaimana
dipahami dalam ilmu hukum, dalam ilmu politik dipandang hanya merupakan salah
satu output dari pemerintah.
Para ahli
politik jaman dahulu selalu mempersamakan hukum dengan kekuasaan, dan kekuasaan
adalah obyek kajian utama dari ilmu politik. Walau demikian, ilmu hukum dan
ilmu politik saat ini telah menjadi dua disiplin ilmu yang benar-benar terpisah
satu sama lain, meskipun ilmu sejarah tetap menjadi salah satu induk bagi ilmu
politik, seperti ilmu sejarah.
Etika. Ilmu lain yang menjadi induk dari ilmu politik adalah
filsafat moral atau etika. Keterkaitan antar etika dan ilmu politik tidak usah
dipertanyakan lagi. Setiap tindakan dalam wilayah politik selalu
mengimplikasikan apakah tindakan tersebut benar atau salah, dalam pengertian
etis. Pertimbangan-pertimbangan emosional diakui menjadi ‘main drive’ dalam
sebagian besar kasus dan tindakan politis, meskipun tidak berarti pertimbangan
rasional ekonomi-politik sama sekali absen di situ.
Para ahli
politik klasik sejak jaman Socrates juga mengasumsikan relasi yang kuat antara
politik dan etik, dengan menjadikan ‘the good life’ sebagai tujuan utama dari
segala aktifitas dalam ‘politheia’. Good-life ini adalah sebuah konsep etis
yang sangat kental nuansa politisnya. Politik di sini dipandang sebagai
pengelolaan kehidupan bersama dalam sebuah polity, yang menjadi jalan bagi
manusia untuk memenuhi hakekatnya sebagai manusia (Aristoteles), menuju
kebaikan bersama.
Namun, dalam
perkembangannya, ilmu politik berusaha membedakan antara fakta dan nilai. Ini
terjadi sebagai akibat dari penekanan ilmu pengetahuan modern atas
obyektifitas, yang mensyaratkan terbebasnya analisa ilmu pengetahuan dari
berbagai muatan nilai.
REFERENSI
·
Smith, Mark J., “Social Science in Question,” Sage Publications
Ltd., London, 1998, Chap. 1.
·
Suriasumantri, Jujun, “Tentang Hakekat Ilmu: Suatu Pengantar
Redaksi,” dalam Jujun Suriasumantri ed., “Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,” Yayasan Obor Indonesia. 2003
·
“What is Political
Science?” “Foundations of Political Science.” hal. 14 – 20
·
Diakses dari www.google.com pada tanggal 10 Maret 2010