Kamis, 02 Oktober 2014

KONSEP DASAR ILMU SOSIAL

KONSEP DASAR ILMU SOSIAL

       I.            PENGERTIAN KONSEP
Pengertian yang tergambar dalam pikiran yang menceritakan suatu benda atau suatu gagasan baik konkrit atau abstrak Konsep IPS: suatu pengertian yang menceritakan suatu fenomena atau benda yang berkaitan dengan IPS- Konsep IPS disini bisa bermakna konotatif atau pun juga denotatif.
A.    KONSEP GEOGRAFI
·         Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang lingkungan atau kewilayahan dalam kontek keruangan.
·         Obyek studi geografi: Geosfer/ permukaan bumi terdiri dari : atmosfer (lapisan udara), hidrosfer (lapisan air), litosfer (lapisan batuan), biosfer ( lapisan Kehidupan).
KONSEP DASAR GEOGRAFI
a)      Konsep bumi sebagai Planet
b)      Variasi cara hidup
c)      Variasi wilayah-wilayah alami
d)     Makna Wilayah bagi manusia
e)      Pentingnya Lokasi dalam memahami peristiwa dunia
B.     KONSEP SEJARAH
·         Masa lampau (tidak dapat diulang kembali)
·         Obyek bisa berupa benda, peristiwa, riwayat, pengalaman
·         Digambarkan/ dinarassikan sebagai fakta
·     Semua obyek dianalisis/ ditafsirkan/ diteliti dengan menggunakan metode tertentu yang sesuai.
Dengan menggunakan metode peristiwa masa lampau dapat direkuntruksi dan disusun kembali sehingga bisa menjadi pelajaran dan peringatan-peringatan ada ungkapan sejarah berulang kembali atau mengambil pelajaran dari sejarah
PENGERTIAN SEJARAH
Sejarah adalah gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami manusia, disusun secara alamiah meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis kritis sehingga mudah dipahami dan dimengerti dan dipahami
HUBUNGAN SEJARAH DAN WAKTU
Dengan mempelajari masa lampau dan dihubungkan dengan pengalaman / kejadian aktual saat ini kita dapat mengkaji / mengetahui perkembangan sehingga kejadian-kejadian mendatang dapat diprediksi.
Maka mempelajari sejarah bukan merupakan suatu kegiatan yang statis malah justru merupakan telah yang dinamis ke masa yang akan datang.
KONSEP DASAR SEJARAH
·         Waktu
·         Dokumen
·         Daur peristiwa
·         Kronologis
·         Peta
·         Tahap-tahap peradapan
·         Ruang
·         Evolusi
·         Revolusi
Waktu lampau menjelaskan sifat bobot dan warna peristiwa yang bersangkutan. Peristiwa sejarah dapat dinyatakan sejarah jika berkaitan dengan waktu. Sejarah mengungkapkan kapan terjadinya suatu peristiwa. Dan Geografi memberi petunjuk dimana peristiwa itu terjadi. Peta alat bantu tentang lokasi suatu peristiwa terjadi.
Alur rentetan peristiwa berdasarkan urutan waktu terjadinya.
C.     KONSEP DASAR ANTROPOLOGI
·         Kebudayaan
·         Tradisi
·         Pengetahuan
·         Ilmu
·         Teknologi
·         Norma
·         Lembaga
·         Seni
·         Bahasa
·         Lambang
 Kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan budi dan atau akal (Kuntjaraningrat) Tradisi kebiasaan  kebiasaan yang terpolakan secara budaya di masyarakat. Kebiasaan lebih melekat pada perorangan sedangkaan tradisi melekat pada kehidupan dan alam pikiran masyarakat.
Mengetuk pintu, tegur sapa, berpakaian rapi merupakan kebiasaan , Namun pulang mudik lebaran di masyarakat tertentu masih merupakan tradisi yang selama ini masih membudidaya di masyarakat kita.
Pengetahuan  Ilmu dan Tekonologi merupakan konsep dasar yang terkait dengan belajar, ketiganya sangat erat maka digabungkan dengan IPTEK.
            NILAI DAN NORMA
1.      Dalam kehidupan masyarakat melekat apa yang dikatakan baik, buruk, sopan tak sopan, cocok dan tak cocok, salah benar, hal ini merupakan nilai
2.      Sedangkan norma lebih mengarah pada ukuran dan aturan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat (tapi tak tertulis)
Nilai mengatur, membatasi, menjaga keserasian hidup dalam masyarakat. Orang yang tak sopan berarti orang tersebut tak mempunyai nilai. Contoh orang yang bertanya di kelas harus mengacungkan terlebih dahulu dan dalam bertanya harus sopan (angkat tangan itu norma dan kesopanan itu nilai).
PRANATA DAN LEMBAGA
Pranata (intitution) adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas yang khusus. Lembaga adalah Badan yang melaksanakan aktivitas dari panata.
KONSEP DASAR SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu sosial yang secara khusus mempelajari interaksi sosial. Frank H. Hankin mendefinisikan sosiologi adalah studi ilmiah tentang fenomena yang timbul dari hubungan kelompok umat manusia.
MATERI POKOK SOSIOLOGI
·         Interaksi sosial
·         Sosialisasi
·         Kelompok Sosial
·         Perlapisan Sosial
·         Proses Sosial
·         Perubahan sosial
·         Mobilisasi sosial
·         Modernisasi
·         Patologi sosial
dan konsep lain yang ada di masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mengadakan interaksi, baik itu interaksi edukatif, interaksi ekonomi, interaksi budaya, dan interaksi politik. Sosialisasi adalah proses penenaman nilai dan pembelajaran norma sosial dalam rangka pengembangan individu yang bersangkutan.
Kelompok Sosial adalah kumpulan manusia yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling mengenal dalam waktu relatif lama, ada kaitan senasib diikat oleh nilai dan norma yang sama serta memiliki rasa persatuan. Ikatan persamaan seperti pendidikan, ekonomi, mata pencaharian, Sehingga ada kelompok miskin, menengah , kaya yang disebut perlapisan sosial.
Proses sosial tak pernah berhenti dalam masyarakat, selalu beranjak dari tingkat terbelakang-berkembang modern. Sebagai akibat dari proses sosial terjadi perubahan sosial, jika proses sosial dan perubahan ini mengarah pada kepada kemajuan , maka masyarakat tersebut mengalamai proses modernisasi.
Terjadinya proses sosial, perubahan sosial, dan modernisasi (perorangan atau kelompok) akan mengakibatkan perubahan status dari lapisan bawah, menengah, atas. Perubahan status baik perorangan maupun kelompok disebut mobilitas sosial.
Patologi Sosial adalah segala penyakit masy. yang menjadi masalah sosial. Seperti kejahatan, penganguran, kemiskinan, gelandangan, tawuran remaja dll.
PSIKOLOGI SOSIAL
Psikoloogi sosial adalah studi ilmiah tentang proses mental manusia sebagai makhluk sosial. Psikologi sosial dapat didefinisikan juga sebagai ilmu tentang peristiwa perilaku antarpersonal.

    II.            ILMU SOSIAL SEBAGAI ILMU
Agar bisa mendapatkan status sebagai ilmu ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah studi. Kita tahu bahwa pengetahun dan ilmu sama-sama merupakan produk dari proses aktifitas berpikir, tetapi ada kualitas-kualitas tertentu yang membedakan antara berpikir dalam kerangka pengetahuan umum dan berpikir dalam kerangka ilmiah.
Kualitas-kualitas yang membedakan berpikir dalam kerangka ilmiah, dan berpikir dalam kerangka pengetahuan pada umumnya, adalah jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jujun Suriasumantri, yaitu: “Apakah yang ingin kita ketahui?”; “Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?”; dan “Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?”2 Tiga pertanyaan tersebut merepresentasikan aspek ontologism, epistemologis, dan aksiologis dari suatu pengetahuan yang mendapatkan status ilmiah. Jika suatu pengetahuan bisa memberikan jawaban yang memuaskan, logis, rasional, dan meyakinkan bagi ketiga pertanyaan tersebut maka relatif tidak akan ada yang keberatan untuk menyatakan pengetahuan tersebut sebagai sebuah pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan pertama berkaitan dengan obyek material dari suatu (calon) ilmu, yaitu “Apa obyek kajian dari (calon) ilmu tersebut?”; “Dimanakah batas-batasnya, sehingga (calon) ilmu tersebut jelas terbedakan dengan cabang ilmu pengetahuan yang lain?”. Ilmu sosial, tidak terkecuali, juga harus bisa memberikan jawaban yang logis, rasional, dan meyakinkan terhadap pertanyaan ini untuk bisa mendapatkan statusnya sebagai ilmu.
Pertanyaan kedua dan ketiga banyak terkait dengan obyek formal sebuah ilmu pengtahuan. Obyek formal ilmu pengetahuan ini berbicara tentang ‘bagaimana sebuah ilmu memandang, mendekati, dan menjelaskan obyek materialnya?”; “Bagaimana pengetahuan tentang obyek material tersebut didapatkan?”; dan “Apa nilai guna dari pengetahuan yang dihasilkan ilmu tersebut bagi manusia?”
Paradigma positifisme memandang bahwa fenomena sosial terjadi dalam sebuah model kausal yang bergerak menurut hukum alam. Hukum alam ini bersifat universal, di segala ruang dan segala waktu. Maka tugas ilmu sosial adalah mempelajari fenomena sosial, model kausal yang mengkerangkainya, dan hukum alam yang bekerja di belakangnya.
Dengan memahami model kausal dan hukum alam yang bekerja dibalik berbagai fenomena sosial, maka manusia tidak hanya akan mampu memahami fenomena sosial tetapi juga memprediksi dan, bila perlu, merekayasa fenomena sosial.
Dalam hal ini, paradigma positifisme menghendaki agar ilmu sosial mengadopsi metodologi ilmu-ilmu alam untuk mempelajari dan menjelaskan fenomena sosial, karena itu paradigma ini juga dikenal dengan dengan nama paradigma naturalisme. Satu disiplin ilmu, satu obyek materiil, dan satu obyek formal itulah kredo utama paradigma positifisme dalam ilmu sosial. Sebelum bisa memenuhi persyaratan itu maka status ilmu sosial sebagai ilmu belumlah absah, karena berarti kajian dalam ilmu sosial belum bisa sepenuhnya memiliki kapasitas prediktif yang bisa diandalkan, sebagaimana dalam ilmu alam.
Paradigma anti-positifis berkeyakinan sebaliknya. Bagi para pengusung paradigma ini, realitas sosial, sebagai obyek material ilmu sosial, adalah entitas yang karakternya berbeda dengan obyek material ilmu-ilmu alam. Realitas sosial sangat sensitif terhadap pengaruh ruang dan waktu, dinamikanya begitu cepat. Selain itu, ilmu sosial menjadikan realitas sosial sebagai obyek materialnya, di mana dalam realitas itu ‘si pengamat’ juga menjadi bagian dari realitas sosial itu sendiri. Disadari atau tidak, si pengamat juga memberikan pengaruh pada obyek yang diamatinya, sehingga amatlah sulit bagi ilmu sosial untuk mencapai level obyektifitas seperti dalam ilmu alam.
Dalam mendekati fenomena sosial, paradigma anti-positifis juga menekankan pada keniscayaan tafsir. Manusia tidak pernah lepas dari proses ini ketika berhadapan dengan fenomena, termasuk fenomena sosial. Tafsir ini dipengaruhi oleh konteks yang meliputi manusia sebagai subyek penafsir, sehingga multi-tafsir juga merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan tidak hanya muncul karena perbedaan dimensi ruang, tetapi juga akibat perbedaan dimensi waktu, karena itu ‘alur kesejarahan’ menjadi salah satu komponen penting dalam paradigma anti-positifis.
Dalam paradigma anti-positifisme, tujuan utama dari ilmu sosial adalah mendapatkan ‘pemahaman’ (verstehen) atas fenomena sosial yang terjadi. Pemahaman ini dianggap lebih penting daripada sekedar mengetahui hubungan antarvariabel pembentuk model kausal dan cara kerja hukum alam yang ada di balik fenomena sosial. Karena dalam ilmu sosial obyek materialnya adalah manusia, pemahaman mengasumsikan adanya hubungan timbal balik antara si pengamat dan yang diamati. Pemahaman ini mengasumsikan pertemuan dua horizon yang berbeda, horizon si pengamat dan yang diamati, sehingga memunculkan intersubyektifitas baru yang memungkinkan keduanya berkomunikasi dalam sebuah struktur pemaknaan yang sama.

 III.            HUBUNGAN ILMU SOSIAL DENGAN ILMU-ILMU LAIN
Ilmu sosial terdiri dari berbagai macam subyek, salah satunya adalah ilmu politik. Adalah sangat baik bagi siapa saja yang mempelajari salah satu subyek dalam ilmu sosial, jika juga memahami garis-garis besar subyek-subyek yang lain dalam ilmu sosial. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang mempelajari ilmu politik. Ilmu politik telah menjadi subyek pemikiran untuk waktu yang sangat lama. Dalam perkembangannya ilmu politik sangat erat kaitannya dengan perkembangan subyek ilmu sosial lain, seperti sejarah, hukum, dan filsafat moral; tentang apa baik dan tidak-baik dalam tindakan manusia. Di bawah ini kita akan secara singkat membahas hubungan antara ilmu politik dan tiga subyek lain dalam ilmu sosial tersebut. Tiga subyek ini dipandang menjadi induk bagi ilmu politik.
Sejarah. “Ilmu politik seperti sebuah benang emas yang terhanyut dalam ‘sungai sejarah’,” begitu kata Lord Acton, seorang penulis besar ketika dia menggambarkan hubungan antara ilmu politik dan ilmu sejarah. Banyak orang mempelajari sejarah untuk menemukan berbagai pengalaman politik berharga di masa lalu, dengan harapan pengalaman tersebut bisa digunakan untuk memindai masa depan dan menjadikannya lebih baik.
Walau demikian, keduanya saat ini mengalami kecenderungan baru yang memisahkan kedua disiplin ilmu tersebut. Ilmu politik saat ini cenderung melepaskan diri dari fenomena politik di suatu era atau tempat tertentu, dan berusaha lebih berfokus pada fenomena politik itu sendiri. Ilmu Sejarah saat ini juga cenderung berusaha memberikan perhatian lebih pada cabang-cabang subyek sejarah baru, seperti sejarah ekonomi, sejarah budaya, dan menganggap bahwa sejarah politik tidaklah lebih penting dari yang lain. Meskipun keduanya telah menjadi dua disiplin ilmu yang terpisah satu sama lain, tetapi sejarah tetap menjadi disiplin induk dari disiplin ilmu politik.
Hukum. Orang yang mempelajari hukum selalu tertarik pada politik, begitu juga sebaliknya. Berbicara tentang negara memang bisa dikatakan bahwa kita berbicara tentang bagaimana hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan. Tetapi ilmu politik lebih memberikan perhatian pada pertanyaan “Apa itu hukum?”, “Dalam konteks politik seperti apa hukum itu muncul?”, “Proses dan kekuatan politik apa yang berkepentingan dengan hukum?” dsb. Hukum, sebagaimana dipahami dalam ilmu hukum, dalam ilmu politik dipandang hanya merupakan salah satu output dari pemerintah.
Para ahli politik jaman dahulu selalu mempersamakan hukum dengan kekuasaan, dan kekuasaan adalah obyek kajian utama dari ilmu politik. Walau demikian, ilmu hukum dan ilmu politik saat ini telah menjadi dua disiplin ilmu yang benar-benar terpisah satu sama lain, meskipun ilmu sejarah tetap menjadi salah satu induk bagi ilmu politik, seperti ilmu sejarah.
Etika. Ilmu lain yang menjadi induk dari ilmu politik adalah filsafat moral atau etika. Keterkaitan antar etika dan ilmu politik tidak usah dipertanyakan lagi. Setiap tindakan dalam wilayah politik selalu mengimplikasikan apakah tindakan tersebut benar atau salah, dalam pengertian etis. Pertimbangan-pertimbangan emosional diakui menjadi ‘main drive’ dalam sebagian besar kasus dan tindakan politis, meskipun tidak berarti pertimbangan rasional ekonomi-politik sama sekali absen di situ.
Para ahli politik klasik sejak jaman Socrates juga mengasumsikan relasi yang kuat antara politik dan etik, dengan menjadikan ‘the good life’ sebagai tujuan utama dari segala aktifitas dalam ‘politheia’. Good-life ini adalah sebuah konsep etis yang sangat kental nuansa politisnya. Politik di sini dipandang sebagai pengelolaan kehidupan bersama dalam sebuah polity, yang menjadi jalan bagi manusia untuk memenuhi hakekatnya sebagai manusia (Aristoteles), menuju kebaikan bersama.
Namun, dalam perkembangannya, ilmu politik berusaha membedakan antara fakta dan nilai. Ini terjadi sebagai akibat dari penekanan ilmu pengetahuan modern atas obyektifitas, yang mensyaratkan terbebasnya analisa ilmu pengetahuan dari berbagai muatan nilai.

REFERENSI

·         Smith, Mark J., “Social Science in Question,” Sage Publications Ltd., London, 1998, Chap. 1.
·         Suriasumantri, Jujun, “Tentang Hakekat Ilmu: Suatu Pengantar Redaksi,” dalam Jujun Suriasumantri ed., “Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,” Yayasan Obor Indonesia. 2003
·          “What is Political Science?” “Foundations of Political Science.” hal. 14 – 20

·         Diakses dari www.google.com pada tanggal 10 Maret 2010