Analisis
Pro – Kontra Pidato Nawaksara
Situasi politik Indonesia
menjadi tidak menentu dan tidak terkendali setelah para enam jenderal dibunuh
dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G 30 S
pada tahun 1965. Pelaku
sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI
dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah
satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk
membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme,
Agama, Komunisme).[1]
Sikap
Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam
politik. Berselang lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang
ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu
guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat
tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang
telah diangkat menjadi Panglima Angkatan
Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi
terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No.
IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang
memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap
saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.[2]
Soekarno
kemudian membacakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S dan pembelaanya mengenai NASAKOM. Menurut Presiden Soekarno
dengan Nasionalisme dan Komunisme, bangsa ini akan dapat dipersatukan sehingga
tidak ada yang terpecah belah. Proses pertangungjawabannya dilaksanakan pada
Sidang Umum ke – IV MPRS.
Pidato tersebut berjudul “Nawaksara”. Menurut
Soekarno, Nawaksara berarti "sembilan
perkara" – pidato itu berisi sembilan pokok bahasan yang disampaikan
Soekarno di depan sidang MPRS dan dibacakan pada 22 Juni 1966.
Pidato
Nawaksara merupakan dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan
Soekarno di depan sidang umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi
Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya dekrit Presiden 5
Juli 1959. Demokrasi ala Soekarno yang memunculkan kesimpulan kepala
pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia
berada di telunjuk Soekarno. Era ini, mencuatkan kekuatan baru dalam kancah
politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai
Sosialis Indonesia (PSSI) dan Masyumi sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi
lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Dengan demikian, era Demokrasi
Terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat pada tiga sumber utama: Soekarno, PKI,
dan TNI-AD.
Pidato
ini disampaikan Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia untuk menjawab
permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan
kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga
keterangan pokok yang berkaitan dengan G-30-S yaitu sebagai berikut :
a. Keblingeran
pimpinan PKI,
b. Subversi
neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim),
c. Adanya
oknum-oknum yang "tidak benar".
Soekarno
menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan neolim bersatu
padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September. Nawaksara ini pula
mejadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pimpinan
MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE,
M.Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1966 tertanggal 5 juli
1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.[3]
Pada 22 Oktober 1966, keluarlah nota pimpinan
MPRS yang mengharuskan Bung Karno melengkapi Nawaksara, khususnya bagian-bagian
yang menyangkut PKI. Untuk melengkapi pidato
tersebut Pidato “Pelengkap Nawaksara” pun disampaikan oleh Soekarno
pada 10 Januari 1967. Isinya antara lain:
a. G.30.S
ada suatu Complete Overcompeling bagi Soekarno.
b. Soekarno
sudah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). Yaitu ketika berpidato pada
perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, dan dalam
pidato 5 Oktober 1966. Pada tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan
saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan
dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum. Untuk itu
kubangunkan MAHMILLUB".
c. Pada
malam peringatan Isro dan Mi;radj di Istana Negara, Pengemban Supersemar
mengatakan, "saya sebagai salah
seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI,
berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September /
PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok" (Gerakan
Satu Oktober).[4]
Namun
“Pelengkap Nawaksara” kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun
yang sama. Karena MPRS sendiri, didalamnya terdiri dari orang – orang yang Pro
– Soeharto. Jadi penolakan tersebut bukanlah suatu ramalan, melainkan memang
direncanakan untuk ditolak, apa pun pertanggungjawaban dari Presiden Ir.
Soekarno itu sendiri.[5]
Pertentangan
antara kubu Soekarno dan kubu MPRS yang dikomandoi AH Nasution semakin terang
ketika Pimpinan MPRS, pada tanggal 16 Februari 1967, mengeluarkan Keputusan Nomor.13/B/1967
tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK
PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA. Alasan penolakan Nawaksara dan Pelengkap
Nawaksara oleh MPR karena tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS dan
bangsa pada umumnya.
Dalam
dua pertanggungjawaban tersebut tidak dijelaskan terperinci kebijaksanaan
Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/PKI, kemunduran ekonomi,
dan kemerosotan akhlak. Tanggapan dari MPRS ini benar-benar mengecewakan
Soekarno. Padahal, Pemangku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata ini berpikir
sudah memberikan jawaban yang jujur, memenuhi harapan dari apa yang ditanyakan,
serta sesuai persyaratan yuridis.
Akhirnya
"Nawaksara" dan "Pelengkap Nawaksara" dalam kualitasnya sebagai
amanat Presiden kemudian ditolak oleh MPRS dan mengambil keputusan sebagai
berikut :
- Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggunganjawaban dari konstitusionalnya,
- Presiden Soekarno dinyatakan telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS,
- Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai Pemilihan Umum yang akan datang, serta menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintah negara yang diatur dalam UUD 1945,
- Mengangkat pengemban TAP MPRS No.IX sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum,
- Pejabat Presiden tunduk dan bertanggungjawab penuh kepada MPRS.
- Penyelesaian persoalan hukum yang menyangkut Soekarno dilakukan menurut ketentuan – ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan serta menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden.
Maka pada tanggal 20 Februari 1966,
Soekarno mengajukan Surat pengunduran diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada
Jenderal Soeharto. Surat pengunduran diri yang diajukan oleh Presiden Soekarno
itu kemudian diproses dalam sidang Istimewa MPRS yang berlangsung pada tanggal
7 – 12 Maret 1967.
Dalam Sidang
Istimewa itu dikeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Ketetapan MPRS
itu memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno,
berlaku surut mulai 22 Februari 1967, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai
Pejabat Presiden.[6]
Menurut
pandangan saya, Ketetapan MPRS Nomor. XXXIII/1967 menarik untuk dipelajari
karena beberapa alasan yaitu sebagai berikut :
Alasan Pertama,
kalau memang dianggap bersalah, mengapa Presiden Soekarno dirampas haknya untuk
membela diri secara politis melalui sarana demokrasi yaitu Pemilihan Umum atau
pembelaan secara hukum melalui pengadilan. Hal ini hanya bisa terjadi pada
pemerintahan yang belum mengenal peradaban hukum modern.
Alasan Kedua,
Presiden Soekarno tidak pernah diangkat oleh MPRS tapi oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Aturan peralihan UUD
1945 pada Pasal III. Sehingga, hanya Presiden yang dipilih MPR dapat diberhentikan
oleh MPR, apalagi oleh MPRS. Oleh karena itu menurut hukum, tindakan MPRS
memberhentikan Presiden Soekarno sebagai presiden, adalah In Konstitusional.
Alasan
Ketiga, pelarangan warganegara
melakukan kegiatan politik tanpa melalui proses hukum, adalah tindakan In Konstitusional,
kecuali pada zaman kolonial Belanda dengan adanya hak exorbitanterechten
(kekuasaan hukum luar biasa) pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, oleh karena
itu tindakan MPRS melarang kegiatan politik bagi Presiden Soekarno adalah In Konstitusional.
Alasan Keempat, perlu diteliti siapa yang bertanggungjawab atas
penangkapan dan penahan Presiden Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta, dengan perlakuan
keji dan bengis, sampai wafat di tahanan.
Alasan
Kelima, perlu diteliti juga siapa bertanggung
jawab menangkap Ketua MPRS Dr. Chaerul Saleh yang ditahan hingga wafatnya
misterius di RTM/Rumah Tahanan Militer.
Sebenarnya
yang sangat mencurigakan justru sikap Soeharto yang tidak mau mengadili Aidit,
Lukman dan Nyoto. Ketiga-tiganya adalah Tokoh I, II dan III PKI, sedangkan
Peristiwa G30S sejak dari awalnya disebut sebagai G30S/PKI. Ketiga-tiganya tertangkap hidup bahkan sempat
diperiksa, tapi diperintahkan oleh
Soeharto supaya langsung ditembak mati, tidak dihadapkan ke muka pengadilan
MAHMILLUB yang dibentuk oleh Presiden Soekarno untuk mengadili para pelaku
G30S. Nampaknya Soeharto takut ada hal – hal yang dapat terbongkar yang akan
merugikannya, jika ketiga tokoh PKI itu diadili.
Kronologi
dari peristiwa ini menyebabkan tanggal 20 Februari tahun
1967 Soekarno secara
yuridis menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana
Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto secara
De Facto
menjadi Kepala Pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa
maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin
Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga
diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Walau
tergusur dari tampuk kekuasaan, pengaruh Soekarno masih terus terpelihara dalam
benak orang-orang yang tersisih kaum marhaen. Kaum marhaen yang selalu
diperjuangkan kemerdekaannya sebagai manusia oleh Sang Putra Fajar, Bung Karno.
Sebaliknya, bagi para marhaen, Bung Karno ialah spirit atau semangat untuk
terus berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
Sumber Referensi
Syamdani, (Ed). 2001. Kontroversi Sejarah Di Indonesia. Jakarta : Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia
Luhulima, James. 2006. Menyingkap Dua Hari Tergelap Di Tahun 1965 – Melihat Peristiwa G30S
Dari Perspektif Lain. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Majalah Tempo, Edisi 05/02 - 05/April/1997
http://apirevolusi.blogspot.com, dalam Pelengkapan
Pidato Nawaksara Soekarno 10 Januari 1967, diunduh pada 15 Oktober 2012
Pukul 19.30 WIB
[1]
James Luhulima, Hal : 182 - 183
[2] http://apirevolusi.blogspot.com, dalam Pelengkapan
Pidato Nawaksara Soekarno 10 Januari 1967, diunduh pada 15 Oktober 2012
Pukul 19.30 WIB
[3]
James Luhulima, Hal : 185
[4]
James Luhulima Hal : 187
[5] Hasil Wawancara dengan Prof. Dr.
Arief Budiman dalam Buku “Kontroversi Sejarah Di Indonesia, Hal : 194
[6]
James Luhulima Hal : 189